![kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen](https://termapan.com/wp-content/uploads/2024/12/kenaikan-tarif-PPN-menjadi-12-persen-818x490.jpg)
Termapan – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dapat diterapkan, namun hanya jika kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat sudah menunjukkan kestabilan. Menurut Esther, keputusan untuk menaikkan PPN ini perlu dilihat dari berbagai perspektif, terutama dampaknya terhadap faktor-faktor yang membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Esther mengingatkan bahwa kenaikan tarif PPN yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dari 11 persen menjadi 12 persen harus dipastikan tidak merusak stabilitas perekonomian. “Menurut Teori Laffer, ekonomi harus tumbuh terlebih dahulu, baru kemudian pendapatan pajak akan meningkat. Bukan dengan menaikkan tarif pajak, ekonomi bisa langsung tumbuh,” jelasnya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Lebih lanjut, Esther menekankan pentingnya melakukan kajian mendalam mengenai kenaikan PPN tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini dan proyeksi untuk masa depan. Ia menyarankan agar pemerintah bersikap realistis dan tidak terburu-buru menaikkan tarif PPN jika situasi ekonomi belum menunjang.
“Jika setelah kajian ditemukan bahwa kenaikan PPN dapat memperburuk kondisi ekonomi yang sedang lesu, maka pemerintah harus siap untuk menunda rencana tersebut,” tambahnya. Esther juga menyinggung tentang pentingnya keberadaan political will dalam kebijakan ini, di mana keputusan pemerintah harus berdasarkan pada pertimbangan yang matang, mengingat saat ini ekonomi Indonesia masih kurang bergairah.
Esther kemudian merujuk pada pengalaman Malaysia yang pernah menaikkan tarif PPN, namun akibat dampak negatif terhadap perekonomian, seperti penurunan ekspor, negara tersebut akhirnya memutuskan untuk menurunkan kembali tarif PPN. “Pemerintah Malaysia sudah membuktikan bahwa kenaikan tarif PPN dapat berdampak buruk terhadap perekonomian, sehingga mereka pun menurunkan tarif tersebut setelah melakukan evaluasi,” ungkapnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kenaikan ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR. Kebijakan ini juga sudah menjadi bagian dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah disetujui oleh DPR.
Namun, untuk melakukan perubahan pada tarif PPN, mekanismenya harus melalui pembahasan RAPBN Penyesuaian/Perubahan, yang memerlukan persetujuan lebih lanjut. Pemerintah juga telah menyiapkan kebijakan afirmatif dengan menetapkan pajak nol persen untuk beberapa barang pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat kalangan bawah, sementara barang mewah yang lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan atas akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan juga memberikan penjelasan bahwa pengaruh kenaikan tarif PPN terhadap harga barang dan jasa diperkirakan hanya sebesar 0,9 persen. Meski begitu, dampak tersebut bisa berpotensi lebih besar apabila daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, sehingga perlu diperhatikan dengan seksama.
Dengan latar belakang ini, kebijakan kenaikan PPN yang direncanakan perlu dipertimbangkan secara matang, mengingat dampaknya terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tanpa merugikan daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.