
Termapan – Sidang pemakzulan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, akhirnya dimulai pada Jumat, 27 Desember 2024. Sidang ini bertujuan untuk menentukan apakah Yoon, yang saat ini tengah menghadapi tuntutan pemakzulan, akan dicopot dari jabatannya atau dipulihkan kembali. Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, sebagai pengadilan tertinggi di negara tersebut, memiliki waktu enam bulan untuk mengeluarkan keputusan final mengenai nasib kepemimpinan Yoon. Proses hukum ini menarik perhatian publik dan dunia internasional, karena menyangkut stabilitas politik di negara dengan ekonomi terbesar ke-10 dunia.
Pada 14 Desember, anggota parlemen Korea Selatan memberikan suara untuk memakzulkan Presiden Yoon setelah ia dinilai gagal dalam upayanya untuk memberlakukan darurat militer di negara itu. Keputusan tersebut membuat Yoon menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan jabatannya. Puncak dari krisis tersebut terjadi pada 3 Desember, ketika Yoon mengumumkan darurat militer secara mendadak, yang kemudian memicu reaksi keras dari parlemen. Mosi penolakan yang disahkan oleh parlemen pada malam yang sama memaksa Yoon untuk mencabut perintah darurat tersebut hanya dalam waktu enam jam.
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus pemakzulan ini akan menjadi sangat krusial, mengingat dampaknya terhadap stabilitas pemerintahan di Korea Selatan. Sebagai tindak lanjut dari situasi ini, Perdana Menteri Han Duck-soo kini bertindak sebagai penjabat presiden. Yoon Suk Yeol sementara waktu diberhentikan dari tugasnya selama proses hukum berlangsung. Langkah ini menunjukkan betapa pentingnya keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi dalam menentukan kelanjutan kepemimpinan negara.
Selain itu, ketegangan politik di Korea Selatan semakin meningkat dengan munculnya peristiwa lainnya, seperti penggeledahan oleh kepolisian terhadap kantor layanan keamanan presiden. Penggeledahan ini dilakukan untuk mencari rekaman CCTV dari kompleks kepresidenan yang dapat menjadi bukti penting dalam proses penyelidikan terkait pemakzulan Yoon.
Sementara itu, di tengah ketidakpastian yang melanda pemerintahan, parlemen Korea Selatan dijadwalkan untuk mengadakan pemungutan suara terpisah terkait upaya pemakzulan Perdana Menteri Han Duck-soo. Langkah ini diambil karena Han Duck-soo telah menolak untuk menunjuk tiga hakim Mahkamah Konstitusi yang seharusnya mengisi kekosongan di lembaga peradilan tersebut. Jika pemungutan suara tersebut dilakukan, maka hal itu akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah Korea Selatan pemungutan suara untuk memakzulkan seorang penjabat presiden.
Proses pemakzulan ini tentu saja akan menjadi momen penting dalam sejarah politik Korea Selatan, mengingat sejauh ini belum ada presiden yang pernah dicopot dari jabatannya melalui mekanisme hukum ini. Ketegangan ini juga mencerminkan bagaimana polarisasi politik di Korea Selatan semakin meningkat, dengan dukungan terhadap Yoon dan kritik terhadap kebijakan pemerintahannya semakin tajam.
Mahkamah Konstitusi kini dihadapkan pada tantangan besar dalam mengambil keputusan yang tidak hanya akan mempengaruhi masa depan Presiden Yoon, tetapi juga stabilitas politik negara secara keseluruhan. Publik dan dunia internasional akan memantau dengan seksama jalannya persidangan ini, mengingat dampaknya yang luas terhadap demokrasi dan pemerintahan di Korea Selatan.
Keputusan yang akan diambil dalam beberapa bulan mendatang akan memiliki implikasi jangka panjang bagi politik Korea Selatan, baik dalam hal hubungan antara eksekutif dan legislatif maupun dalam hubungan negara tersebut dengan dunia internasional. Sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis, hasil dari sidang ini akan menjadi indikator seberapa kuat sistem hukum dan politik di Korea Selatan dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.