
Termapan – Tiga nelayan asal Indonesia akhirnya dipulangkan dari Malaysia setelah dua kapal mereka secara tidak sengaja memasuki perairan negara tersebut. Kejadian ini menyoroti tantangan yang masih dihadapi oleh nelayan tradisional, terutama terkait navigasi dan batas wilayah laut antara kedua negara.
Dalam pernyataan resminya, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru mengonfirmasi bahwa pemulangan dilakukan secara bertahap. Dua orang telah dipulangkan pada 19 Maret 2025, sementara seorang lainnya telah kembali ke Indonesia sehari sebelumnya, tepatnya pada 18 Maret 2025.
Untuk proses pemulangan tersebut, KJRI bekerja sama dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) Zona Barat serta Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) Negeri Johor. Dua nelayan yang dipulangkan lebih awal diketahui sebagai awak kapal KM Purnama Samudera Maritim. Mereka adalah Suhardi Saparteri, yang berasal dari Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, serta Muhammad Al Salam, yang berasal dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Menurut KJRI, kedua awak kapal itu ditahan oleh pihak berwenang Malaysia pada 24 Februari 2025 setelah kapal mereka ditemukan berada di perairan Malaysia, tepatnya di wilayah Tanjung Bulat, Kota Tinggi. Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa masuknya kapal tersebut ke wilayah perairan Malaysia terjadi tanpa disengaja. Faktor utama yang menyebabkan insiden ini adalah kondisi kapal yang kurang optimal serta ketiadaan alat navigasi yang memadai.
Selain itu, hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa para nelayan tersebut memiliki dokumen keimigrasian yang sah serta surat izin kapal yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setelah seluruh proses pemeriksaan dan administrasi diselesaikan, akhirnya mereka dapat dikembalikan ke Indonesia.
Pemulangan kedua nelayan ini dilakukan secara resmi oleh Konsul Jenderal RI di Johor Bahru, Sigit S. Widiyanto, yang menyerahkan mereka kepada Kepala Bakamla Zona Barat, Laksamana Muda Bambang Trijanto. Penyerahan ini dilakukan di atas kapal Bakamla KN P-Nipah 321 yang berlokasi di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Sementara itu, seorang nelayan lainnya yang bernama A Huat, yang berasal dari Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, juga mengalami kejadian serupa. Ia terbawa arus hingga memasuki perairan Malaysia pada 3 Maret 2025 sebelum akhirnya ditemukan dan diselamatkan oleh APMM Negeri Johor. Setelah diamankan, nelayan tersebut kemudian dimintai keterangan oleh otoritas setempat sebelum akhirnya dikembalikan ke Indonesia.
Proses pemulangan A Huat dilakukan melalui kerja sama antara Satgas Perwakilan Pelindungan Terpadu KJRI Johor Bahru dan APMM Negeri Johor. Dalam proses serah terima, Ketua Satgas Perwakilan Pelindungan Terpadu KJRI Johor Bahru, Jati Heri Winarto, serta Ketua Penolong Pengarah Penguatkuasaan dan Exercise APMM Negeri Johor, Commander (M) Zamri Rosdi, secara resmi menyerahkan A Huat kepada Kepala Satuan Polisi Air dan Udara (Kasatpol Airud) Polres Karimun, Inspektur Satu Sarianto.
Penyerahan tersebut dilakukan di atas kapal APMM Negeri Johor yang berada di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Dengan selesainya proses pemulangan ini, ketiga nelayan tersebut kini dapat kembali ke daerah asal mereka dengan selamat.
Kejadian ini kembali menjadi pengingat bahwa batas wilayah laut yang sering kali tidak memiliki tanda yang jelas dapat menyebabkan nelayan tradisional tanpa sengaja masuk ke perairan negara lain. Minimnya alat navigasi serta kondisi kapal yang kurang memadai juga menjadi faktor yang membuat mereka lebih rentan menghadapi situasi seperti ini.
Oleh karena itu, diharapkan adanya peningkatan dukungan bagi nelayan Indonesia dalam hal pelatihan navigasi serta penyediaan alat bantu navigasi yang lebih baik, sehingga kejadian serupa dapat diminimalisir di masa mendatang. Selain itu, komunikasi dan kerja sama antara otoritas maritim Indonesia dan Malaysia juga perlu terus diperkuat demi memastikan perlindungan bagi nelayan yang tanpa sengaja melintasi batas perairan internasional.