Kasus Hasto Kristiyanto Jadi Peringatan bagi Tata Kelola Pemilu di Indonesia

Kasus korupsi yang melibatkan Hasto Kristiyanto

Termapan – Penetapan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi menandai momen penting dalam upaya memperbaiki tata kelola pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Kasus ini mengungkapkan berbagai masalah mendasar dalam sistem pemilu yang rentan terhadap praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aktor-aktor politik tertentu.

Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Vishnu Juwono, kasus ini memberikan gambaran jelas tentang bagaimana politik uang masih merusak integritas proses demokrasi di Indonesia. “Kasus ini menunjukkan bahwa praktik politik uang telah menjadi masalah struktural dalam pemilu kita. Integritas proses pemilu terganggu ketika kekuasaan partai politik disalahgunakan untuk memaksakan kehendak politik,” ungkap Vishnu dalam pernyataannya di Depok, Jawa Barat, Kamis (27/12).

Hasto Kristiyanto diduga terlibat dalam upaya untuk memanipulasi hasil pemilu dengan menggantikan calon anggota DPR terpilih, Riezka Aprilia, dengan Harun Masiku, seorang calon anggota DPR yang memperoleh suara lebih rendah di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan. Dugaan suap ini melibatkan uang yang diberikan kepada sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk mempengaruhi hasil pemilu tersebut. Keterangan yang disampaikan oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyebutkan bahwa Hasto melalui orang-orang kepercayaannya memberikan suap sebesar 19.000 dolar Singapura kepada anggota KPU, Wahyu Setiawan, dan 38.350 dolar Singapura kepada anggota Bawaslu, Agustiani Tio F., antara 16 hingga 23 Desember 2019.

Meskipun Wahyu Setiawan sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung pada 2021 dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara, keputusan untuk memberikan pembebasan bersyarat pada Oktober 2023 mengundang kritik. “Pemangkasan hukuman ini menunjukkan betapa lemah penegakan hukum di Indonesia. Itu tidak memberikan efek jera yang maksimal bagi para pelaku korupsi,” kata Vishnu menyoroti ketidaksempurnaan dalam sistem peradilan.

Lebih jauh lagi, kasus ini mengungkap masalah struktural di tubuh KPU dan Bawaslu, dua lembaga yang seharusnya menjaga netralitas dan integritas pemilu. Ternyata, kedua lembaga ini justru terlibat dalam praktik kecurangan. Vishnu menyarankan agar proses rekrutmen pimpinan KPU dan Bawaslu dilakukan secara lebih menyeluruh. Pimpinan yang dipilih harus memiliki independensi yang kuat, integritas tinggi, dan bebas dari rekam jejak korupsi. “Jangan ada lagi ruang bagi kader partai politik yang bermasalah untuk mengisi posisi strategis di lembaga penyelenggara pemilu,” tegasnya.

Dalam hal tata kelola internal partai politik, Vishnu menilai bahwa partai sering kali menempatkan figur-figur bermasalah di posisi strategis hanya karena loyalitas politik, bukan karena kompetensi atau rekam jejak yang bersih. “Partai politik harus meningkatkan pengawasan internal dan memastikan bahwa tata kelola yang baik diterapkan secara konsisten. Kasus ini menunjukkan bahwa tokoh sentral seperti Hasto dapat dengan mudah melakukan praktik korupsi tanpa pengawasan yang memadai,” ujar Vishnu.

Selain itu, Vishnu menekankan pentingnya reformasi dalam proses rekrutmen calon legislatif di partai politik. Caleg harus dipilih berdasarkan kompetensi, rekam jejak yang bersih, dan dukungan konstituen yang kuat. “Jangan sampai figur-figur yang sudah terbukti bermasalah, seperti Harun Masiku yang hingga kini buron, diberikan kesempatan untuk menjadi caleg unggulan. Ini akan merusak kredibilitas partai dan proses pemilu itu sendiri,” kata Vishnu.

Melihat kenyataan ini, Vishnu berharap agar kasus korupsi yang melibatkan Hasto Kristiyanto ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan tata kelola pemilu dan sistem partai politik di Indonesia. “Kita harus beralih ke sistem demokrasi yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel. Hanya dengan demikian kita bisa membangun kembali kepercayaan publik terhadap proses pemilu, partai politik, dan institusi negara,” tutupnya.

Dengan begitu, perbaikan menyeluruh dalam tata kelola pemilu, baik dari sisi partai politik maupun lembaga penyelenggara pemilu, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia berjalan dengan adil dan transparan. Hanya dengan perubahan yang signifikan, praktik-praktik korupsi dan politik uang yang merusak proses demokrasi dapat diminimalisir.

Recommended For You

About the Author: admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *